Kisah KH Hasyim Asy’ari, Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur
Kisah KH Hasyim Asy’ari, Pendiri Ponpes Tebuireng |
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Pebruari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang.
Hasyim
kecil tumbuh dibawah asuhan ayah dan ibu dan kakeknya di Gedang. Dan
seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar
kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo
Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok
Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai
yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren
Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad
Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan
agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya
yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya
yang bernama Nafisah pada tahun 1892.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Sejak
pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren
terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau terobsesi untuk
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Peninggalan beliau yang tidak
akan pernah dilupakan orang adalah Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng
merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir
Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur. Letaknya delapan
kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya
jurusan Jombang – Kediri.
Menurut
cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng”
(kerbau hitam). Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki
kerbau berkulit kuning (bule atau albino). Suatu hari, kerbau tersebut
menghilang. Setelah dicari kian kemari, menjelang senja baru ditemukan
dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak
dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang
semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan ini menyebabkan
pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …! kebo ireng …!. Sejak itu, dusun
tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama “Kebo Ireng”.
Namun
ada versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng bukan berasal dari
kebo ireng seperti cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa
kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar
dusun tersebut.
Namun
pada perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo
Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah
karena itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun
tersebut yang telah banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu
sebagai bahan baku gula, yang mungkin tebu yang ditanam berwarna hitam,
maka pada akhirnya dusun tersebut berubah menjadi Tebuireng.
Dusun
Tebuireng dulu dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian,
pelacuran dan semua perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan
Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari bersama beberapa santri yang beliau
bawa dari pesantren kakeknya (Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap
pola kehidupan masyarakat dusun tersebut mulai berubah semakin baik,
semua perilaku negatif masyarakat di Tebuireng terkikis habis dalam masa
yang relatif singkat. Dan santri yang mulanya hanya beberapa orang
dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Awal
mula kegiatan dakwah Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dipusatkan di
sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari
anyam-anyaman bambu (Jawa; gedek), bekas sebuah warung pelacuran yang
luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang beliau beli dari seorang dalang
terkenal. Satu ruang depan untuk kegiatan pengajian, sementara yang
belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asy’ari bersama istri
tercinta Ibu Nyai Khodijah.
Tentu
saja dakwah Kyai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja memperoleh sambutan
baik dari penduduk setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan
dari penduduk setempat datang silih berganti, para santri hampir setiap
malam selalu mendapat tekanan fisik berupa senjata celurit dan pedang.
Kalau tidak waspada, bisa saja diantara santri terluka karena bacokan.
Bahkan untuk tidur para santri harus bergerombol menjauh dari dinding
bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu itu agar terhindar dari
jangkauan tangan kejam para penjahat.
Dan
gangguan yang sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja
berlanjut, hingga Kyai Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirim utusan
ke Cirebon guna mencari bantuan berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5
kyai yakni; Kyai Saleh Benda, Kyai Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri
Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet dan Kyai Saleh Benda Kerep.
Dari
kelima kyai itulah Kyai Hasyim Asy’ari belajar silat selama kurang
lebih 8 bulan. Dan sejak itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim
Asy’ari untuk melakukan ronda sendirian pada malam hari menjaga keamanan
dan ketenteraman para santri.
Dengan
perjuangan gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya
berhasil membasmi kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian
kentalnya di Tebuireng. Keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng semakin
mendapat perhatian dari masyarakat luas.
Dalam
perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7
kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan
Tebuireng sebagai berikut:Periode I : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
Periode II : KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
Periode IV : KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
Periode V : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
Periode VI : KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006 - sekarangSejarah Singkat Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Pebruari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang.
Hasyim
kecil tumbuh dibawah asuhan ayah dan ibu dan kakeknya di Gedang. Dan
seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar
kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo
Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok
Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai
yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren
Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad
Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan
agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya
yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya
yang bernama Nafisah pada tahun 1892.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Sejak
pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren
terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau terobsesi untuk
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Peninggalan beliau yang tidak
akan pernah dilupakan orang adalah Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng
merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir
Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur. Letaknya delapan
kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya
jurusan Jombang – Kediri.
Menurut
cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng”
(kerbau hitam). Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki
kerbau berkulit kuning (bule atau albino). Suatu hari, kerbau tersebut
menghilang. Setelah dicari kian kemari, menjelang senja baru ditemukan
dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak
dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang
semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan ini menyebabkan
pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …! kebo ireng …!. Sejak itu, dusun
tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama “Kebo Ireng”.
Namun
ada versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng bukan berasal dari
kebo ireng seperti cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa
kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar
dusun tersebut.
Namun
pada perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo
Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah
karena itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun
tersebut yang telah banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu
sebagai bahan baku gula, yang mungkin tebu yang ditanam berwarna hitam,
maka pada akhirnya dusun tersebut berubah menjadi Tebuireng.
Dusun
Tebuireng dulu dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian,
pelacuran dan semua perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan
Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari bersama beberapa santri yang beliau
bawa dari pesantren kakeknya (Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap
pola kehidupan masyarakat dusun tersebut mulai berubah semakin baik,
semua perilaku negatif masyarakat di Tebuireng terkikis habis dalam masa
yang relatif singkat. Dan santri yang mulanya hanya beberapa orang
dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Awal
mula kegiatan dakwah Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dipusatkan di
sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari
anyam-anyaman bambu (Jawa; gedek), bekas sebuah warung pelacuran yang
luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang beliau beli dari seorang dalang
terkenal. Satu ruang depan untuk kegiatan pengajian, sementara yang
belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asy’ari bersama istri
tercinta Ibu Nyai Khodijah.
Tentu
saja dakwah Kyai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja memperoleh sambutan
baik dari penduduk setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan
dari penduduk setempat datang silih berganti, para santri hampir setiap
malam selalu mendapat tekanan fisik berupa senjata celurit dan pedang.
Kalau tidak waspada, bisa saja diantara santri terluka karena bacokan.
Bahkan untuk tidur para santri harus bergerombol menjauh dari dinding
bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu itu agar terhindar dari
jangkauan tangan kejam para penjahat.
Dan
gangguan yang sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja
berlanjut, hingga Kyai Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirim utusan
ke Cirebon guna mencari bantuan berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5
kyai yakni; Kyai Saleh Benda, Kyai Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri
Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet dan Kyai Saleh Benda Kerep.
Dari
kelima kyai itulah Kyai Hasyim Asy’ari belajar silat selama kurang
lebih 8 bulan. Dan sejak itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim
Asy’ari untuk melakukan ronda sendirian pada malam hari menjaga keamanan
dan ketenteraman para santri.
Dengan
perjuangan gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya
berhasil membasmi kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian
kentalnya di Tebuireng. Keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng semakin
mendapat perhatian dari masyarakat luas.
Dalam
perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7
kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan
Tebuireng sebagai berikut:Periode I : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
Periode II : KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
Periode IV : KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
Periode V : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
Periode VI : KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006 - sekarang
Posting Komentar untuk "Kisah KH Hasyim Asy’ari, Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur"